Rabu, 09 Mei 2012

Budaya merupakan Salah satu Penyebab Korupsi


Soedarso yang menunjuk beberapa penyebab dari korupsi selanjutnya menguraikan panjang lebar tentang latar belakang Kultur ini. Antara lain sebagai berikut.
 “Dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia, apabila miliu itu ditinjau lebih lanjut , yang perlu diselidiki tentunya bukan kekhususan miliu orang satu per satu, melainkan yang secara umum meliputi, dirasakan dan memengaruhi kita semua orang Indonesia. Dengan demikian , mungkin kita bisa menemukan sebab-sebab masyarakat kita dapat menelurkan korupsi sebagai Way Of Life dari banyak orang, mengapa korupsi itu secara diam-diam di tolereer, bukan oleh penguasa , tetapi oleh masyarakat sendiri. Kalai masyarakt umum mempunyai semangat antikorupsi seperti mahasiswa pada waktu melakukan demonstrasi anti korupsi, maka korupso sungguh-sungguh tidak akan dikenal.
 Bandingkan dengan pendapat Syed Hussein Alatas yang mengatakan bahwa mayoritas rakyat yang tidak melakukan perbuatan korupsi seharusnya berpartisipasi dalam memberantas korupsi yang dilakukan oleh minoritas. Cara ini disebut Siskamling (Sistem keamanan Lingkungan).
 Lebih lanjut B.Soedarso meneruskan pula secara panjang lebar tentang kultur Indonesia mulai dari zaman Multatuli, waktu penyalahgunaan jabatan merupakan suatu sistem.
“Selama dalam jabatan (maksudnya Douwes Dekker atau Multatuli) ia telah melaporkan kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh Bupati Lebak dan Wedana Parakujang (Banten Selatan) kepada atasannya dan meminta supaya terhadap mereka ini dilakukan pengusutan. Menurut Douwes Dekker, bupati tersebut telah menggunakan kekuasaannya melebihi apa yang diperbolehkan oleh peraturan untuk memperkaya diri . Dalam keadaan sosial seperti telah dibentangkan di muka , dalam suasana ketololan pikiran tentang hubungan penguasa dengan rakyat , kejahatan yang timbul di antara penguasa dengan sendirinya adalah penyalahgunaan untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan kebodohan serta onderdanigheid penduduk , tentu saja disini perlu sekali lagi diingat bahwa yang dimaksud dengan penyalahgunaan adalah menurut ukuran modern, ukuran kultur yang telah menelurkan KUHP sebab dalam rangka pandangan kuno tidak ada pengertian penyalahgunaan kekuasaan.
Mungkin pernyataan di atas terlalu berani, namin dari sejarah berlakunya KUHP di Indonesia penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia oleh pejabat-pejabat memang telah diperhitungkan secara khusus oleh pemerintah Belanda . sewaktu disusunnya Wetboek Van Strafrecht  untuk Indonesia. Hal ini nyata disisipkannya pasal 423 KUHP (kejahatan-kejahatan knevelarij) dalam KUHP karena dengan pasal yang ada dalam Ned.W.V.S mengenai knevelarij , yaitu pasal 366 (Pasal 425 KUHP), Dipandang memadai untuk masyarakat Indonesia yang pejabat-pejabatnya cenderung untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri . Pasal 366 Ned.W.V.S mengandung salah satu unsur yaitu in de uitoefening zijner bediening (pada waktu melaksanakan jabatannya) yang menyatakan bahwa pejabat atau pegawai negeri melakukan melakukan kejahatan “pada waktu melaksanakan jabatannya” , padahal banyak pejabat atau pegawai negeri pegawai negeri Indonesia sulit ditentukan kapan ia melaksanakan jabatannya. Lain halnya dengan pejabat atau pegawai negeri di Belanda , ia bosa melaksanakan jabatannya dimana saja kapan saja.
Memang benar pejbat aau pegawai negeri Indonesia dapat melaksanakan jabatannya dirumahnya sendiri dan memang rakyat akan menaatinya karena keterbelakangannya , hal itu tidak akan terjadi di Belanda . demikianlah , maka dalam Pasal 423 KUHP itu kata-kata in de uitoefening zijner bediening tidak ada. Kedua pasal 423 dan 425 KUHP itu dikenal dengan nama knevelarij yang menurut terjemahan KUHP buah tangan Moeljatno 1979 diterjemahkan dengan “Pemerasan” , oleh Engelbrecht dengan “Kerakusan” (Engelbrecht,1960) , Soesilo dan Soenarto dengan “permintaan memaksa” (Soesilo Soenarto 1979) , sedangkan Kitab Oendang-Oendang tentang Hoekoem terbitan Balai Pustaka tahun 1940 menerjemahkannya “aniaya dengan pendayaan serta menjepit” (Cassuto 1930). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar